• your image alt

    Slider Title 1

    Terkadang kisah yang terjadi pada orang lain, bisa saja terjadi pada kita. Yang harus kita lakukan adalah jangan lakukan kesalahan yang sama yang akan membuat penyesalan akhirnya...

  • your image alt

    Slider Title 2

    Terkadang kisah yang terjadi pada orang lain, bisa saja terjadi pada kita. Yang harus kita lakukan adalah jangan lakukan kesalahan yang sama yang akan membuat penyesalan akhirnya...

  • your image alt

    Slider Title 3

    Terkadang kisah yang terjadi pada orang lain, bisa saja terjadi pada kita. Yang harus kita lakukan adalah jangan lakukan kesalahan yang sama yang akan membuat penyesalan akhirnya...

Silahkan Saja

Kadang aku memilih beberapa hal yang salah. kadang aku memutuskan untuk melalui jalan yang salah.

Aku selalu mempunyai pilihan dalam hidup. Pilihan untuk maju atau mundur, bertahan atau melepas, sakit atau bebas. Aku selalu punya pilihan atas hidupku.
Matamu melihat, namun buta akan hadirku.

Telingamu mendengar, namun tuli akan perhatianku.

Bibirmu bicara, namun bisu akan sapaanku.

Tanganmu bergerak, namun kaku akan tangisku yang butuh pelukan.

Aku penasaran, apa kamu hanya bermain peran di hadapanku? Kamu memainkan peran seolah-olah kamu membutuhkan aku lebih dari siapapun, kamu muncul di hadapanku, menebar senyum dan kebaikan, hanya untuk memperoleh perhatianku lalu kamu akan menghempaskannya.

Aku penasaran apa yang kamu rasakan saat kamu berhasil menarikku, menjebak aku ke dalam pesonamu, memenjarakan hatiku dan membuatnya menjadi serpihan debu.

Aku penasaran apa yang kamu rasakan setiap aku menulis tentangmu, menulis tentang sesuatu yang aku harapkan menjadi kita, menulis tentang betapa aku menginginkanmu, menulis betapa aku berharap kamu akan datang suatu saat nanti.

Aku ingin tertidur.

Aku ingin tertidur untuk melupakanmu, aku ingin tertidur untuk membuatku nyaman akan semuanya, aku ingin tertidur untuk menghapus kutukanmu. Aku ingin bermimpi, ingin menghentikan kekonyolan ini meskipun dalam mimpi




"Akan selalu ada saatnya hati menjadi retakan bahkan pecahan.."

Aku tidak menjanjikan sesuatu yang lebih atas diriku. Aku pun selalu ingat bahwa hatiku bukan sebuah besi yang tidak akan dengan mudah hancur. Aku selalu menjaga agar hatiku tidak meleleh dengan mudah, begitu pula dengan kekokohan hatiku, akupun selalu menjaganya agar tidak mudah retak.
Tapi hatiku bukan air yang tidak pernah habis. Bukan pula udara yang dihembuskan secara gratis. Aku selalu ingin menjaga keutuhan hatiku, aku juga selalu mencoba untuk menjaga agar hatiku bisa menyelimuti kegelisan di seluruh tubuhku.

Aku mulai lelah.. Aku mulai tidak sabar melihatmu. Aku sudah bosan dengan segala janji dan ucapanmu. Aku sudah tidak ingin menjadi bantalan di hatimu.

Salahkah aku jika aku meminta kejelasan atas hubungan kita?

Ada saatnya hati kita akan merapuh, memudar, melemah dan enggan untuk bertahan. Aku rasa aku telah mencapai puncaknya. Aku sudah lelah dan enggan lagi bertahan dengan sikapmu.
Aku terpaksa melupakanmu di saat aku mulai menikmati rasa sayangku terhadapmu.

Apa kamu sadar aku selama ini di sampingmu?

Mungkin kamu lupa bahwa hanya aku, satu-satunya yang dengan rasa bebal mampu mendengar airmatamu, mampu menerjemahkan sakit hatimu, dan mampu menerimamu yang masih memiliki obsesi terhadapnya.
Aku bukan malaikat yang dengan semua kelebihannya bisa terus berada di sisimu dan menerimamu terus menerus yang masih belum membuka hatimu seutuhnya untukku. Aku tahu hatiku telah berusaha sebisa mungkin untuk menahan semua ini.

Kamu harus tahu, hatiku sudah tercemar radiasi nuklir dari ledakan amarahmu saat dia mengabaikanmu. Hatiku sudah tercampur dengan limbah airmata saat dia meninggalkanmu dengan harapan kosong.

Kamu lebih memilihnya bukan daripada aku? Berarti kamu harus siap untuk kehilangan sosokku. Aku penasaran apa ada sosok lain yang mampu bertahan seperti aku bertahan sekuat tenaga mengerti posisimu.

Aku telah membiarkan kamu membentuk retakan kecil di hatiku, salahku. Tapi aku tidak akan membiarkan pecahan hatiku jatuh karena sikap bodohku mempertahanku.

Terimakasih telah memberi asupan perhatian padaku, mendonorkan pundakmu untuk menahan tangisku. Tapi aku berhenti sekarang.
Silakan kejar dirinya, dan jangan pernah pedulikan aku lagi. Aku selesai denganmu.

Read More
Selasa, 03 September 2013 0 komentar

Salahkah??

Disaat beberapa orang mencoba mempertahankan cintanya dalam hubungan, beberapa yang lain, mencoba menjadi penghancur hubungan.

Aku menyesap kopiku yang perlahan menjadi dingin. Sepertinya aku kalah start dengan udara, ya, udara penghancur hubunganku dengan kopi hangatku. Udara ini bisa dibilang orang ketiga dalam hubunganku dengan kopi ini. Lucu ya?

Aku memejamkan mataku mencoba mengingat beberapa kisah temanku yang kurang lebih miris, hubungan mereka hancur karena orang ketiga. Aku ingat mereka menangis dan memaki para orang ketiga itu, mereka merutuki sang kekasih dari kekasihnya. Hubunganku pun pernah kandas karena orang ketiga. Rasanya? Jangan ditanya. Sakit banget!

Tapi, akupun pernah menjadi orang yang menyakiti beberapa orang karena memilih jalan sebagai 'orang ketiga'. Aku ga munafik, menjadi orang ketiga dan merusak beberapa hubungan itu cukup menyenangkan. Bahkan bisa dibilang aku ketagihan menjadi orang ketiga.

Menjadi perusak bukan jalan yang baik, malah seharusnya tidak menjadi pilihan. Tapi apa iya orang ketiga selalu salah dalam suatu hubungan yang kandas?

Aku berpikir secara jernih, suatu hubungan perselingkuhan ga akan pernah bisa berjalan kalau orang yang telah memiliki hubungan ga tergoda sama yang lain. Nah, mungkin nantinya akan muncul pernyataan, "Ga akan tergoda kalo ga ada yang menggoda!" Bener juga sih ya, tapi tunggu dulu, orang ketiga ga selalu menggoda untuk mendapat perhatian dari si pemilik hubungan..

Jadi, si Selingkuh itu salah.

Si Orang Ketiga juga seharusnya sadar kalau-kalau si Selingkuh sudah memiliki hubungan dengan si Pacar. Kalau aja dia sadar dan ga menerima ajakan si Selingkuh untuk menjalin hubungan gelap, mungkin tidak akan ada hati yang sakit karena perselingkuhan.

Jadi, si Orang Ketiga juga salah.

Perselingkuhan tidak akan terjadi kalau si Selingkuh dan si Pacar memiliki hubungan yang harmonis dan cukup komunikasi. Hubungan yang harmonis ga hanya tentang selalu mesra-mesraan atau ketemu setiap waktu juga, tapi lebih ke 'nyaman'. Kalau si Selingkuh merasa nyaman dengan si Pacar dan si Pacar bisa membuat si Selingkuh nyaman, perselingkuhan ga akan pernah terjadi.

Jadi, si Pacar salah juga

Aku tersenyum sendiri menguraikan cara berpikirku yang mungkin kurang bisa diterima beberapa orang, ralat, sebagian besar orang mungkin, tapi andaikan kalian bisa berpikir jernih, memang seperti itulah adanya.

Dalam suatu hubungan, harus selalu ada faktor kenyamanan. Karena tanpa rasa nyaman, hubungan akan menjadi debu, hancur terbawa angin.

Dalam perselingkuhan, semua pihak yang terlibat salah. Karena jika semua terjadi seperti yang seharusnya, setiap pihak ga akan mencari kesenangan lain.

Dan, Orang Ketiga itu ga salah. Mereka malah telah berjasa menyadarkan kalian kalau hubungan kalian sudah ga sehat. Dengan atau tanpa mereka, hubungan kalian akan segera hancur.

Jadi, sudah sebaiknya kita berterimakasih sama Orang Ketiga, sebenarnya merekalah penyelamat hati kalian. Mereka hanya sosok yang kalian salahkan atas kelalaian kalian menjaga hubungan tetap nyaman. Kalian harus tahu, beberapa dari mereka, mungkin hanya secara tidak sengaja menjadi Orang Ketiga, beberapa dari mereka, mungkin merasa tersudut dengan cacian kalian, dan beberapa dari mereka mungkin tidak bermaksud membuat kalian luka.

Menjadi Orang Ketiga itu pilihan, setiap manusia berhak memilih jalan hidupnya masing-masing, dan kita harus menghargai setiap pilihan yang diambil orang lain..

Read More
0 komentar

Aku Bukan Dia

Aku menutup mataku dan mengusap peluh di dahiku. Perbincangan denganmu kali ini sangat menguras emosiku. Aku, yang biasanya tenang dan tanpa emosi, dibuatmu menjadi sangat amat pemarah.
Apa salah jika aku memintamu untuk melupakannya? Melupakannya. Bukan mulai melupakannya. Aku lelah dengan semua alasanmu, dengan semua omong kosongmu yang hanya menyakiti hatiku.
Dulu aku selalu percaya semua kata-katamu. Semua, apa perlu kuulangi dan kupertegas?
"Tenanglah, aku sudah belajar mengikhlaskannya.."
"Aku sudah muak dipermainkan olehnya. Mungkin ini saatnya aku pergi darinya."
"Aku sudah tidak terlalu memikirkannya."
Ya, selalu kalimat itu yang kau ungkapkan setiap aku memintamu meninggalkannya, Memintamu melupakan semua tentangnya.
Berat memang, tapi aku selalu berusaha mempercayaimu. Mempercayai setiap kata yang kau ucapkan. Mencoba mengerti apa yang kau rasakan.
Naif? Ya, sangat.

Aku tidak pernah melakukan banyak hal untuk laki-laki sembarang. Bahkan aku hanya berkorban untuk cinta pertamaku. Dan itu sudah sangat lama.
Bahkan aku lupa rasanya tersenyum dengan tulus saat diberi perhatian, lupa bagaimana aku bisa melakukan hal bodoh untuk menunjukkan segala hal padanya, tapi sepertinya amnesia sementaraku telah kamu sembuhkan.
Kamu, dengan bermodal ketulusan mulai mengisi hari-hariku. Ya, dipenuhi canda, tawa, perhatian, kasih sayang, dan ah apa mungkin cinta?

Aku mulai merasakan hal yang dulu aku lupakan. Aku mulai mengingat rasanya ingin melakukan sesuatu untuk laki-laki. Karena kamu.

Kamu telah menjadi penawar luka dan dendam di hatiku. Kamu telah membuatku melupakan segala luka dan berani melakukan hal bodoh untuk membuktikan kepedulianku padamu. Singkat kata, aku mencintaimu.

Tapi, apakah khayalanku akan berakhir dengan indah?
Sayangnya kamu telah memilikinya, dia yang mengisi relung hatimu dengan amat sangat dalam. Dia yang telah mengukir namanya di hatimu dengat sangat kuat.
Lalu, aku bisa apa?

Aku hanya hidup dibawah bayang-bayang dirinya. Kemanapun dia pergi, selalu aku disana, bukan secara realita, namun kamu menganggapku begitu.
Aku seperti tabung oksigen bagimu, yang hanya dicari saat kamu kehilangan oksigen di udara.. Ya, oksigen itu dia.
Aku hanya pilihan keduamu disaat dia telah membuangmu.

Jadi, akankah aku sekekal dia? Ah, aku bukan dia. Aku hanya bayangannya bagimu. Selalu.

Read More
0 komentar

Jangan Meminta Sebuah Alasan

Aku memandangi jam di pergelangan tangan kiriku, sudah 30 menit aku diam menunggumu disini, di tempat yang telah kita sepakati. Di sebuah taman yang indah, di hadapan ribuan tetes air yang menjadi satu, dan di sebuah bangku panjang tempat kita biasa berbagi cerita. Aku semakin cemas menanti kehadiranmu, menanti kamu yang sudah sekian lama aku kagumi walau tanpa pernah aku ucapkan. Aku memandangi sekelilingku, terdengar alunan musik jangkrik yang menemani dan sorotan lampu terang nan hangat yang dikerubungi binatang terbang malam. Aku memejamkan mataku mencoba mengingat apa yang telah terjadi diantara kita. Kita? Aku bahkan tidak yakin kamu merasa nyaman jika aku menyebut kita.

Aku berdiri dari dudukku yang sia-sia, menatap ke jalan setapak yang biasa kita lalui, mencoba mencari sosokmu. Aku mendesah putus asa, apa mungkin kamu lupa untuk memenuhi janji yang telah terucap? Atau mungkin kamu... Ah sudahlah, aku menepis bayanganmu dari pikiranku. Aku menunduk mengambil sebongkah batu kecil yang lumayan kotor, aku menggenggam batu itu dengan marah, lalu melemparkannya kasar sehingga terdengar bunyi riak air yang keras. Aku mencoba menahan kekecewaanku yang mungkin sudah kesekian kalinya terhadapmu, aku menahan tangis yang seolah memaksa untuk kuluapkan karena luka yang kamu buat.

"Hei, maaf aku terlambat datang." Terdengar suara berat yang sangat aku kenali. "Sudah berapa lama kamu disini? Tampangmu kacau sekali." Lanjutmu sambil tersenyum jahil.
"Ah sudah, tak apa. Aku baru sekitar 40 menit ada disini." Aku memasang wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.
"Ah kau pasti hendak menyindirku pedas ya? Sudah, ayo temani aku makan. Aku lapar sekali." Katamu sambil menarik lenganku dan membubuhkan rangkulan di pundakku.
"Dasar kamu ini. Sudah terlambat datang dan membiarkan aku dikerubungi semut sekarang kamu dengan seenaknya memaksaku menemanimu makan." Aku mengikutimu sambil membersihkan kotoran di tanganku.
"Hahaha.. Begitulah aku." Jawabmu sambil tertawa, dan aku melihat kamu menatapku sekilas, namun tanpa berkomentar atas telapak tanganku yang memiliki bercak tanah.

***

Aku terduduk di sampingmu yang tengah mengemudikan mobil. Aku kedinginan dan menggigil, bukan karena suhu yang terlalu rendah atau karena aku memakai pakaian yang tipis, namun karena sikapmu yang selalu berubah dingin secara tiba-tiba. Aku menyentuh pundak dimana tadi tanganmu memberi rangkulan, hangat, namun tak pernah cukup karena kamu memberinya bukan dengan hatimu. Aku mendadak menjadi sendu dan seakan ingin menangis. Kupandangi tanganku yang kotor karena tadi belum sempat aku bersihkan.

"Di dalam laci di hadapanmu ada tissue basah." Aku mendengar suaramu yang berkata dengan lembut. Dan tanpa aku sadari, aku terbengong mendengar suara lembutmu yang hampir tidak pernah ku dengar. "Apa? Kamu tidak mendengarku?" Suaramu mengagetkanku lagi.
"A..aku mendengarmu." Aku menjawab dengan terbata.
"Lalu, kamu tunggu apa lagi? Cepat ambil. Tanganmu kotor sekali. Apa sih yang kamu lakukan tadi sembari menungguku?"
"Sejak kapan kamu sebegitu perhatiannya padaku?" Aku memberi komentar pedas sambil mengusap tanganku dengan tissue. "Pasti dia meninggalkanmu lagi, atau menyakitimu lagi, makanya kamu bersikap sebaik ini padaku. Aku sudah biasa menjadi bantalanmu."
"Ah, kamu memang selalu begitu. Sarkastik." Katamu sambil tersenyum.

Aneh. Sungguh aneh, karena kamu bisa begitu lembut dan perhatian terhadapku. Aku mencoba mengusir pikiranku tentang kemungkinan kamu hanya menjadikanku pelarian, seperti biasanya. Aku kembali asyik dengan lamunanku. Apalagi kalau bukan tentang kamu, dan kamu juga kembali sibuk dengan jalanan ibukota yang semakin ramai. Aku terdiam, memikirkanmu, lagi. Kali ini bukan hanya kamu yang ada di pikiranku, namun juga dia. Lamunanku semakin dalam saat kamu memberhentikan mobil dan mengajakku turun. Dan lagi-lagi aku ternganga, ini seperti bukan kamu yang biasanya.


"Aku sedang ingin makan disini. Bukan masalah untukmu kan?" Tanyamu sambil menatapku yang semakin bingung akan tingkahmu.
"Sebenarnya ada apa? Apa yang dia lakukan padamu?" Aku menatapmu sinis.
"Kamu ini kenapa sih?" Aku mendengar nada suaramu berubah.
"Aku hanya ingin tahu. Seperti biasanya. Aku selalu siap menjadi bantalanmu di setiap dia membuangmu, namun aku harus tahu kali ini ada apa. Aku sudah menemanimu sekian lamanya, namun tanpa kamu jelaskan apa yang terjadi. Aku ingin tahu kali ini." Aku balik menatap matanya, dengan mata yang dibulatkan aku seolah menantangnya, sedangkan jemariku terkepal menahan amarah.
"Aku tidak ingin membicarakan ini." Kamu membuang wajahmu dan mulai menyesap minumanmu.
"Aku ingin membahas ini.Aku hanya lelah dijadikan ramuan luka untukmu tanpa tahu apa yang kamu derita." Aku memohon sambil memegang tanganmu.
"Kamu sudah tahu garis besarnya. Dan apalagi yang ingin kamu ketahui? Alasan aku tadi terlambat menemuimu?"
"Salah satunya." Aku mencoba menegarkan hatiku. Aku tahu kata apapun yang keluar dari bibirnya pasti akan menyakiti hatiku, dan aku harus siap dengan segala konsekuensinya.
"Aku menemuinya. Dia memintaku menemuinya, dan aku seolah terhipnotis olehnya."
"Lalu?" Aku semakin menuntut penjelasan, mataku mendadak terasa panas seolah ingin mengeluarkan air.
"Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan ini, aku tidak ingin membuatmu terluka." Dan kamu kembali menghindar.

Kali ini aku mengalah, bukan karena aku sudah tidak ingin mendengar penjelasannya. Aku ingin menetralkan perasaanku dan mencegah ledakan airmata yang hendak keluar.Aku semakin merasa rapuh dan seolah tak bertulang. Kata-katamu yang seolah menjagaku dari rasa sakit malah semakin mencabikku. Sikapmu yang mendadak hangat malah makin membuatku tergerogoti tanpa ampun. Aku hanya ingin kejelasan, meskipun aku tahu kejelasan itu akan membuatku terluka. Aku hanya ingin kejujuran, bukan sikap pura-pura ini. Aku kembali merasa hancur, bahkan sebelum aku tahu yang sebenarnya. Harusnya aku mengetahui ini dari awal aku menyukaimu, aku harusnya tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa pergi dari hatimu, dan harusnya kau tahu bahwa aku harus siap menanggung semua yang akan terjadi bila aku terus menerus berada di dekatmu.

"Dia memintaku untuk menjauhimu." Suara berat yang hangat itu terdengar bagai hujaman petir di dalam hatiku.
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum, "Lalu?"
"Aku tidak bisa mengatakan tidak padanya.." Kamu menunjukkan wajah memelas seperti anak kecil yang dipaksa orangtuanya untuk membuang mainan kesayangannya.
"Dan?" Aku mencoba menahan terjangan panas dikedua mataku.
"Aku minta maaf. Aku harus melakukannya." Lagi-lagi kamu memberiku tatapan yang hangat dan aku kembali merasa lunglai di seluruh tubuhku.
"Jadi kamu menganggap pertemuan ini adalah perpisahan kita, sehingga kamu bersikap sangat aneh kepadaku?" Aku mulai mengerti arus pembicaraan ini. Dan kulihat kepalanya mengangguk dengan lemas.

***

Jadi, disinilah aku. Berada di sampingmu, melihatmu yang tengah serius mengatur laju mobilmu, untuk yang terakhir kalinya. Aku mencoba menahan apa yang aku rasakan, aku mencoba menahan sakit atas gigitan kenyataan yang membuat memar dan bengkak di sekujur tubuhku. Aku mencoba mengerti apa yang kamu putuskan, dan aku mencoba menempatkan diriku di posisimu.

Aku memandangi wajahmu. Aku akan selalu mengingatnya. Bibir yang seakan tak bosan mengeluarkan canda dan senyum nakal, mata yang selalu menatapku di kala aku berbicara, tangan yang selalu siap memberiku genggaman di kala aku hampir menangis, pundak yang pernah menjadi tempat aku meluapkan airmataku, dan tubuh yang seringkali mendekapku dan memberiku rasa nyaman. Aku harus merelakanmu. Merelakan? Ah bahkan kamu bukan milikku. Dan belum pernah jadi milikku. Dan (lagi) tidak akan pernah jadi milikku.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, perjalanan pulang yang biasanya disesaki kendaraan sialan lain seakan hilang dan membuat ini semakin cepat. Aku sudah hampir sampai di rumahku. Dan sialnya aku belum puas memandangimu, dan aku masih ingin ada di dekatmu. Aku mencoba melenyapkan ketakutanku yang akan kamu tinggalkan. Siapa lagi yang akan menjadi penyemangatku kalau bukan kamu? Dan akhirnya decitan rem pun terdengar, dan aku sudah sampai di rumahku.

"Terimakasih sudah mengantarku pulang." Aku tersenyum padamu.
"Aku minta maaf.. Dan aku yang seharusnya berterimakasih. Kamu sudah menemaniku selama hampir 2 tahun ini." Kamu kembali terlihat bersalah.
"Sudah, lupakan.." Aku tersenyum lagi, namun getir, karena aku menahan tangisku yang semakin ingin segera terurai.
"Aku berhutang padamu, untuk segala waktu yang kamu habiskan saat bersamaku." Dan kamu memberiku pelukan yang hangat, sangat hangat, untuk pertama dan terakhir kalinya. "Jaga dirimu baik-baik. Aku janji tidak akan pernah melupakanmu."
"Ya. Jangan lupa mengirimiku undangan pernikahanmu bersamanya ya." Candaku setelah kamu melepas pelukan hangatmu. Ah andai aku masih bisa mendapatkannya lagi. Aku tersenyum semakin getir dan sedih.
"Pasti.. Maaf atas waktumu yang.."
Aku memotong kata-katamu, "Waktu memang akan menjadi pembunuh kita. Dan aku sudah mengetahuinya dari awal. Aku bahagia karena waktu akhirnya menuntaskan tugasnya pada kita." Aku meluncur turun dari mobilmu dan memberi lambaian padamu. Aku menunggumu kembali melaju sebelum aku memasuki pintu rumahku.

***

Aku merasa mataku disengat oleh ribuan lebah, dan sekarang luncuran air mata mulai membasahi pelupuk mataku dan menuruni hidung serta meninggalkan jejak di pipiku. Waktu yang telah mempertemukan aku dan kamu, dan kini waktu yang telah membunuh kita. Aku masih merasakan pelukanmu di tubuhku, masih mendengar suaramu yang lembut di telingaku. Aku tahu kamu melakukannya untuk dia. Dan aku dengan sukarela melakukan ini untukmu.

Bodoh? Ya. Aku memang bodoh. Namun aku tidak cukup bodoh untuk mempertahankanmu di sisiku saat kamu masih ingin bersama dia. Aku cukup merasa pintar karena aku melepasmu yang tidak pernah benar-benar aku miliki dan melepas kesakitanku terhadapmu.

Read More
0 komentar

My MP3

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info