Jangan Meminta Sebuah Alasan

Aku memandangi jam di pergelangan tangan kiriku, sudah 30 menit aku diam menunggumu disini, di tempat yang telah kita sepakati. Di sebuah taman yang indah, di hadapan ribuan tetes air yang menjadi satu, dan di sebuah bangku panjang tempat kita biasa berbagi cerita. Aku semakin cemas menanti kehadiranmu, menanti kamu yang sudah sekian lama aku kagumi walau tanpa pernah aku ucapkan. Aku memandangi sekelilingku, terdengar alunan musik jangkrik yang menemani dan sorotan lampu terang nan hangat yang dikerubungi binatang terbang malam. Aku memejamkan mataku mencoba mengingat apa yang telah terjadi diantara kita. Kita? Aku bahkan tidak yakin kamu merasa nyaman jika aku menyebut kita.

Aku berdiri dari dudukku yang sia-sia, menatap ke jalan setapak yang biasa kita lalui, mencoba mencari sosokmu. Aku mendesah putus asa, apa mungkin kamu lupa untuk memenuhi janji yang telah terucap? Atau mungkin kamu... Ah sudahlah, aku menepis bayanganmu dari pikiranku. Aku menunduk mengambil sebongkah batu kecil yang lumayan kotor, aku menggenggam batu itu dengan marah, lalu melemparkannya kasar sehingga terdengar bunyi riak air yang keras. Aku mencoba menahan kekecewaanku yang mungkin sudah kesekian kalinya terhadapmu, aku menahan tangis yang seolah memaksa untuk kuluapkan karena luka yang kamu buat.

"Hei, maaf aku terlambat datang." Terdengar suara berat yang sangat aku kenali. "Sudah berapa lama kamu disini? Tampangmu kacau sekali." Lanjutmu sambil tersenyum jahil.
"Ah sudah, tak apa. Aku baru sekitar 40 menit ada disini." Aku memasang wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.
"Ah kau pasti hendak menyindirku pedas ya? Sudah, ayo temani aku makan. Aku lapar sekali." Katamu sambil menarik lenganku dan membubuhkan rangkulan di pundakku.
"Dasar kamu ini. Sudah terlambat datang dan membiarkan aku dikerubungi semut sekarang kamu dengan seenaknya memaksaku menemanimu makan." Aku mengikutimu sambil membersihkan kotoran di tanganku.
"Hahaha.. Begitulah aku." Jawabmu sambil tertawa, dan aku melihat kamu menatapku sekilas, namun tanpa berkomentar atas telapak tanganku yang memiliki bercak tanah.

***

Aku terduduk di sampingmu yang tengah mengemudikan mobil. Aku kedinginan dan menggigil, bukan karena suhu yang terlalu rendah atau karena aku memakai pakaian yang tipis, namun karena sikapmu yang selalu berubah dingin secara tiba-tiba. Aku menyentuh pundak dimana tadi tanganmu memberi rangkulan, hangat, namun tak pernah cukup karena kamu memberinya bukan dengan hatimu. Aku mendadak menjadi sendu dan seakan ingin menangis. Kupandangi tanganku yang kotor karena tadi belum sempat aku bersihkan.

"Di dalam laci di hadapanmu ada tissue basah." Aku mendengar suaramu yang berkata dengan lembut. Dan tanpa aku sadari, aku terbengong mendengar suara lembutmu yang hampir tidak pernah ku dengar. "Apa? Kamu tidak mendengarku?" Suaramu mengagetkanku lagi.
"A..aku mendengarmu." Aku menjawab dengan terbata.
"Lalu, kamu tunggu apa lagi? Cepat ambil. Tanganmu kotor sekali. Apa sih yang kamu lakukan tadi sembari menungguku?"
"Sejak kapan kamu sebegitu perhatiannya padaku?" Aku memberi komentar pedas sambil mengusap tanganku dengan tissue. "Pasti dia meninggalkanmu lagi, atau menyakitimu lagi, makanya kamu bersikap sebaik ini padaku. Aku sudah biasa menjadi bantalanmu."
"Ah, kamu memang selalu begitu. Sarkastik." Katamu sambil tersenyum.

Aneh. Sungguh aneh, karena kamu bisa begitu lembut dan perhatian terhadapku. Aku mencoba mengusir pikiranku tentang kemungkinan kamu hanya menjadikanku pelarian, seperti biasanya. Aku kembali asyik dengan lamunanku. Apalagi kalau bukan tentang kamu, dan kamu juga kembali sibuk dengan jalanan ibukota yang semakin ramai. Aku terdiam, memikirkanmu, lagi. Kali ini bukan hanya kamu yang ada di pikiranku, namun juga dia. Lamunanku semakin dalam saat kamu memberhentikan mobil dan mengajakku turun. Dan lagi-lagi aku ternganga, ini seperti bukan kamu yang biasanya.


"Aku sedang ingin makan disini. Bukan masalah untukmu kan?" Tanyamu sambil menatapku yang semakin bingung akan tingkahmu.
"Sebenarnya ada apa? Apa yang dia lakukan padamu?" Aku menatapmu sinis.
"Kamu ini kenapa sih?" Aku mendengar nada suaramu berubah.
"Aku hanya ingin tahu. Seperti biasanya. Aku selalu siap menjadi bantalanmu di setiap dia membuangmu, namun aku harus tahu kali ini ada apa. Aku sudah menemanimu sekian lamanya, namun tanpa kamu jelaskan apa yang terjadi. Aku ingin tahu kali ini." Aku balik menatap matanya, dengan mata yang dibulatkan aku seolah menantangnya, sedangkan jemariku terkepal menahan amarah.
"Aku tidak ingin membicarakan ini." Kamu membuang wajahmu dan mulai menyesap minumanmu.
"Aku ingin membahas ini.Aku hanya lelah dijadikan ramuan luka untukmu tanpa tahu apa yang kamu derita." Aku memohon sambil memegang tanganmu.
"Kamu sudah tahu garis besarnya. Dan apalagi yang ingin kamu ketahui? Alasan aku tadi terlambat menemuimu?"
"Salah satunya." Aku mencoba menegarkan hatiku. Aku tahu kata apapun yang keluar dari bibirnya pasti akan menyakiti hatiku, dan aku harus siap dengan segala konsekuensinya.
"Aku menemuinya. Dia memintaku menemuinya, dan aku seolah terhipnotis olehnya."
"Lalu?" Aku semakin menuntut penjelasan, mataku mendadak terasa panas seolah ingin mengeluarkan air.
"Sudahlah, aku tidak ingin membicarakan ini, aku tidak ingin membuatmu terluka." Dan kamu kembali menghindar.

Kali ini aku mengalah, bukan karena aku sudah tidak ingin mendengar penjelasannya. Aku ingin menetralkan perasaanku dan mencegah ledakan airmata yang hendak keluar.Aku semakin merasa rapuh dan seolah tak bertulang. Kata-katamu yang seolah menjagaku dari rasa sakit malah semakin mencabikku. Sikapmu yang mendadak hangat malah makin membuatku tergerogoti tanpa ampun. Aku hanya ingin kejelasan, meskipun aku tahu kejelasan itu akan membuatku terluka. Aku hanya ingin kejujuran, bukan sikap pura-pura ini. Aku kembali merasa hancur, bahkan sebelum aku tahu yang sebenarnya. Harusnya aku mengetahui ini dari awal aku menyukaimu, aku harusnya tahu bahwa dia tidak akan pernah bisa pergi dari hatimu, dan harusnya kau tahu bahwa aku harus siap menanggung semua yang akan terjadi bila aku terus menerus berada di dekatmu.

"Dia memintaku untuk menjauhimu." Suara berat yang hangat itu terdengar bagai hujaman petir di dalam hatiku.
Aku mengangkat wajahku dan tersenyum, "Lalu?"
"Aku tidak bisa mengatakan tidak padanya.." Kamu menunjukkan wajah memelas seperti anak kecil yang dipaksa orangtuanya untuk membuang mainan kesayangannya.
"Dan?" Aku mencoba menahan terjangan panas dikedua mataku.
"Aku minta maaf. Aku harus melakukannya." Lagi-lagi kamu memberiku tatapan yang hangat dan aku kembali merasa lunglai di seluruh tubuhku.
"Jadi kamu menganggap pertemuan ini adalah perpisahan kita, sehingga kamu bersikap sangat aneh kepadaku?" Aku mulai mengerti arus pembicaraan ini. Dan kulihat kepalanya mengangguk dengan lemas.

***

Jadi, disinilah aku. Berada di sampingmu, melihatmu yang tengah serius mengatur laju mobilmu, untuk yang terakhir kalinya. Aku mencoba menahan apa yang aku rasakan, aku mencoba menahan sakit atas gigitan kenyataan yang membuat memar dan bengkak di sekujur tubuhku. Aku mencoba mengerti apa yang kamu putuskan, dan aku mencoba menempatkan diriku di posisimu.

Aku memandangi wajahmu. Aku akan selalu mengingatnya. Bibir yang seakan tak bosan mengeluarkan canda dan senyum nakal, mata yang selalu menatapku di kala aku berbicara, tangan yang selalu siap memberiku genggaman di kala aku hampir menangis, pundak yang pernah menjadi tempat aku meluapkan airmataku, dan tubuh yang seringkali mendekapku dan memberiku rasa nyaman. Aku harus merelakanmu. Merelakan? Ah bahkan kamu bukan milikku. Dan belum pernah jadi milikku. Dan (lagi) tidak akan pernah jadi milikku.

Waktu terasa begitu cepat berlalu, perjalanan pulang yang biasanya disesaki kendaraan sialan lain seakan hilang dan membuat ini semakin cepat. Aku sudah hampir sampai di rumahku. Dan sialnya aku belum puas memandangimu, dan aku masih ingin ada di dekatmu. Aku mencoba melenyapkan ketakutanku yang akan kamu tinggalkan. Siapa lagi yang akan menjadi penyemangatku kalau bukan kamu? Dan akhirnya decitan rem pun terdengar, dan aku sudah sampai di rumahku.

"Terimakasih sudah mengantarku pulang." Aku tersenyum padamu.
"Aku minta maaf.. Dan aku yang seharusnya berterimakasih. Kamu sudah menemaniku selama hampir 2 tahun ini." Kamu kembali terlihat bersalah.
"Sudah, lupakan.." Aku tersenyum lagi, namun getir, karena aku menahan tangisku yang semakin ingin segera terurai.
"Aku berhutang padamu, untuk segala waktu yang kamu habiskan saat bersamaku." Dan kamu memberiku pelukan yang hangat, sangat hangat, untuk pertama dan terakhir kalinya. "Jaga dirimu baik-baik. Aku janji tidak akan pernah melupakanmu."
"Ya. Jangan lupa mengirimiku undangan pernikahanmu bersamanya ya." Candaku setelah kamu melepas pelukan hangatmu. Ah andai aku masih bisa mendapatkannya lagi. Aku tersenyum semakin getir dan sedih.
"Pasti.. Maaf atas waktumu yang.."
Aku memotong kata-katamu, "Waktu memang akan menjadi pembunuh kita. Dan aku sudah mengetahuinya dari awal. Aku bahagia karena waktu akhirnya menuntaskan tugasnya pada kita." Aku meluncur turun dari mobilmu dan memberi lambaian padamu. Aku menunggumu kembali melaju sebelum aku memasuki pintu rumahku.

***

Aku merasa mataku disengat oleh ribuan lebah, dan sekarang luncuran air mata mulai membasahi pelupuk mataku dan menuruni hidung serta meninggalkan jejak di pipiku. Waktu yang telah mempertemukan aku dan kamu, dan kini waktu yang telah membunuh kita. Aku masih merasakan pelukanmu di tubuhku, masih mendengar suaramu yang lembut di telingaku. Aku tahu kamu melakukannya untuk dia. Dan aku dengan sukarela melakukan ini untukmu.

Bodoh? Ya. Aku memang bodoh. Namun aku tidak cukup bodoh untuk mempertahankanmu di sisiku saat kamu masih ingin bersama dia. Aku cukup merasa pintar karena aku melepasmu yang tidak pernah benar-benar aku miliki dan melepas kesakitanku terhadapmu.

Selasa, 03 September 2013 0 komentar

0 komentar:

Posting Komentar

My MP3

Free Music Online
Free Music Online

free music at divine-music.info